Sabtu, 07 Juni 2014

NAMBANG MODAL CEKAK

Tekad pemerintah merealisasikan program hilirisasi tambang mineral ternyata tidak mudah. Niat mulia itu menuai protes dari kalangan pelaku usaha pertambangan. Protes dilayangkan lantaran program hilirisasi dengan kewajiban membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) serta larangan ekspor bahan mentah (raw material) mineral dirasakan akan mematikan usaha pertambangan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tambang pun tak bisa dihindari.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) telah mengamanatkan semua hasil tambang mineral mentah dilarang diekspor dan harus diolah di dalam negeri mulai tahun ini. Dengan dukungan DPR, pemerintah memberlakukan larangan ekspor mineral mentah terhitung sejak 12 Januari 2014.
Pelaksanaan UU Minerba ini didukung oleh tiga peraturan di bawahnya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, serta Peraturan Menteri Keuangan No 6/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Pengolahan bahan mentah mineral diyakini akan meningkatkan nilai tambah, sehingga bakal mendongkrak nilai ekspor nasional dari sektor tambang dalam beberapa tahun mendatang. Program tersebut juga diyakini bakal memacu aliran investasi dalam jumlah besar pada industri hilir mineral di Indonesia. Sebagai contoh, untuk membangun smelter tembaga dengan kapasitas 300.000 ton per tahun dibutuhkan investasi US$ 2,2 miliar.
Data Kementerian ESDM mencatat sebanyak 253 perusahaan pertambangan sudah meneken pakta integritas untuk membangun smelter. Dari jumlah itu, sebanyak 66 perusahaan masuk kelompok yang serius membangun smelter. Perinciannya, sebanyak 25 perusahaan sudah menyelesaikan konstruksi akhir, 10 perusahaan dalam tahap pertengahan konstruksi, 15 perusahaan sudah peletakan batu pertama dan awal konstruksi, serta 16 perusahaan sudah menyelesaikan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Setiap perusahaan yang akan membangun smelter diwajibkan melaporkan rencana bisnisnya, waktu pelaksanaan pembangunan smelter, kapasitas serta kapan bisa mulai beroperasi. Perusahaan tersebut juga harus menjaminkan sejumlah uang untuk menunjukkan kesungguhan. Jaminan uang tersebut dalam bentuk dolar AS dan disimpan di bank negara. Besaran uang jaminan 5 persen dari total investasi membangun smelter. Keseriusan membangun smelter menjadi syarat yang harus dipenuhi bagi perusahaan tambang jika ingin tetap mengantongi izin ekspor.
Sementara itu, pemberlakuan larangan ekspor tambang mineral mentah memiliki dampak bagi perekonomian nasional. Untuk tahun ini, larangan ini diperkirakan menghilangkan potensi ekspor sebesar US$ 4 miliar dan mendorong defisit pada neraca perdagangan barang mineral menjadi US$ 10 miliar.
Namun kebijakan ini akan meningkatkan kinerja ekspor mineral olahan dari saat ini US$ 4,9 miliar menjadi sekitar US$ 9 miliar pada tahun depan. Pascapemberlakuan larangan ekspor itu, pada 2014-2015 negara tidak mendapatkan devisa dari ekspor mineral. Namun, ekspor mineral produk jadi diharapkan menghasilkan devisa pada 2016 ketika sejumlah pabrik smelter sudah bisa beroperasi.
Di tengah harapan dan proyeksi angka-angka tersebut di atas, penerapan aturan turunan UU Minerba sudah menuai protes. Sejumlah asosiasi pertambangan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaudit seluruh peraturan yang dibuat pemerintah dalam menjalankan amanat UU Minerba. Bersamaan dengan pengajuan permintaan audit tersebut, asosiasi tambang ini juga mundur dari Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi Kadin Indonesia.
Asosiasi pertambangan menilai bea keluar (BK) ekspor tambang mineral sebesar 20-25 persen pada awal tahun ini dan akan terus meningkat menjadi 60 persen mulai pertengahan 2016 malah akan membuat industri pertambangan "mati" akibat margin yang terjun bebas hingga menjadi tujuh persen. Akibat selanjutnya, banyak perusahaan tambang yang gulung tikar dan pada akhirnya terjadi gelombang PHK. Saat ini saja, asosiasi tambang mencatat sebanyak 750.000 pekerja tambang sudah menganggur akibat pelarangan ekspor bijih mineral serta pengenaan bea keluar mineral secara progresif.
Kita mendukung kebijakan hilirisasi tambang mengingat kebijakan ini akan meningkatkan nilai tambah mineral. Dengan kebijakan ini, Indonesia tidak lagi disebut sebagai negara pengekspor tanah dan air karena mineral yang diekspor sudah memiliki kadar yang sangat tinggi. Namun, di sisi lain, kita juga mengingatkan pemerintah agar mencarikan jalan keluar bagi industri tambang.
Pemerintah harus memberikan dukungan sepenuhnya bagi terlaksananya hilirisasi tambang dan mampu mengeliminasi dampak dari penerapan program ini. Pemerintah mesti menyiapkan sejumlah infrastruktur untuk mendukung program pembangunan smelter, termasuk pasokan energinya. Pemerintah harus mewajibkan perusahaan negara PT PLN (Persero) untuk menyediakan pasokan listrik.
Pemerintah bisa juga menerapkan skema mengundang investor membangun pembangkit listrik untuk mendukung operasional smelter. Dalam skema ini, pemerintah memberi jaminan kepada investor bahwa kelebihan produksi listrik dari pembangkit listrik tersebut akan dibeli oleh PLN (Persero), selain untuk mengoperasikan smelter.
Dukungan pemerintah juga diperlukan dalam bentuk insentif. Misalnya memberikan insentif fiskal bagi investor yang mau membangun industri smelter dan infrastrukturnya, termasuk pembangkit listrik. Insenstif fiskal sangat dibutuhkan mengingat nilai investasi yang digelontorkan untuk membangun smelter tidak sedikit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar